TIP DAN TRICK PENGUSAHA SUKSES

Mengupas tuntas tentang tips tricks kisah sukses jurus jitu dalam berbisnis

  • Categories

  • Archives

Kisah Sukses

Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) – Sukses Bisnis Dengan Akhlak
04/09/2006 – Kisah Sukses

“Kalau kita mau sukses, kunci pertama adalah jujur, dengan bermodalkan kejujuran, orang akan percaya kepada kita. Kedua, professional. Kita harus cakap sehingga siapapun yang memerlukan kita merasa puas dengan yang kita kerjakan. Ketika, inovatif, artinya kita harus mampu menciptakan sesuatu yang baru, jangan hanya menjiplak atau meniru yang sudah ada.”

Sosok kyai muda ini sering kali muncul di acara televisi secara langsung yang selalu dihadiri oleh ribuan massa menjadi ciri khas dan fenomena tersendiri. Beliau adalah K.H. Abdullah Gymnastiar atau biasa dipanggil Aa Gym, pimpinan pesantren Daarut Tauhid Bandung. Aa Gym memulai pendidikan formal awal di SD Damar sebuah SD swasta yang kini sudah dibubarkan. Sekolah ini cukup jauh dari rumahnya, sekitar tiga kilometer. Masa itu, pilihan satu-satunya ke sekolah adalah berjalan kaki. Menjelang naik ke kelas 3 SD, pindah ke KPAD Gegerkalong. Aa Gym pun pindah sekolah ke SD Sukarasa 3.

Bakat saya mulai berkembang dan nilai prestasi sekolah pun cukup bagus. Terbukti ketika tamat, beliau terpilih menjadi ranking terbaik II di sekolah dengan selisih satu nilai saja dibandingkan ranking I. Di bidang seni, bakat beliau juga berkembang, seperti menggambar dan menyanyi. Sejak itu pula Aa Gym sering ditunjuk menjadi ketua kelas dan aktif dalam gerakan Pramuka. Jiwa dagang Aa Gym sudah terbentuk sejak TK, terbawa-bawa hingga di Sekolah Dasar. Misalnya, beliau pernah menjual petasan yang memang pada waktu itu belum dilarang seperti sekarang. Alhasil, beliau pernah mendapat teguran dan pengurus DKM masjid. Namun, pada waktu itu beliau belum begitu mengerti ilmu agama dengan baik. Setelah lulus SMA dan memasuki kuliah Aa Gym tidak lulus tes Sipenmaru.

Aa Gym mencoba daftar ke Pendidikan Ahli Administrasi Perusahaan (PAAP) Universitas Padjadjaran, yaitu sebuah program D3 di Fakultas Ekonomi. Alhamdulillah beliau diterima. Namun, kuliah di sini hanya bertahan selama tahun. Beliau lebih sibuk berbisnis daripada mengikuti kuliah. Teman-teman kuliah pun lebih mengenal beliau sebagai “tukang dagang”. Selepas PAAP, beliau masuk ke Akademi Tekhnik Jenderal Abmad Yani (ATA, sekarang Unjani). Kampusnya waktu itu sangat sederhana karena menumpang di SD Widyawan atau kadang di PUSDIKJAS.

Majalah Pengusaha

Kerajinan Kain Perca, Para Ekspatriat pun Suka
Friday, 10 August 2007 Melalui teknik pengerjaan dan ukuran yang berbeda dengan kerajinan perca pada umumnya, Tarti Ariyasa berhasil merangkul pelanggan lokal dan mancanegara. Russanti Lubis

Apa yang dilakukan para ibu rumah tangga ketika tetek bengek urusan rumah tangga kelar dikerjakan, suami sudah berangkat ke kantor, dan anak-anak sedang menimba ilmu di sekolah? Kumpul-kumpul, itulah jawabannya. Tapi, kegiatan khas nyonya rumah yang selalu dikonotasikan negatif ini, ternyata tidak selalu berarti demikian. Sebab, kadangkala dari ngerumpi itu muncul ide-ide kreatif yang pada akhirnya mampu menambah pundi-pundi rumah tangga.
Hal itu pulalah yang dilakukan oleh Tarti Ariyasa, pengrajin quilting dari Duri, Riau. Untuk mengisi kejenuhan setelah segala urusan rumah tangga selesai, perempuan yang terpaksa berhenti kerja karena mengikuti tugas suami ini, mengikuti kegiatan yang banyak diminati para ibu rumah tangga di kompleks kediamananya yaitu kerajinan tangan patchwork & quilting. Keterampilan ini menggunakan kain sebagai media kreasinya.
Caranya yaitu dengan menggunakan teknik potong, bentuk pola, padu padan warna warni kain, dan selanjutnya menyatukannya dengan dijahit tangan atau menggunakan mesin. Di Indonesia, keterampilan ini diartikan sebagai kemampuan menyatupadukan kain perca.

Saat Tarti menularkan keterampilan ini ke sekumpulan ibu rumah tangga, ia bertemu dengan Nita Andri dan Anda J. Gunawan yang memiliki ketertarikan yang sama terhadap kerajinan tangan tersebut.. Seminggu sekali, mereka berkumpul membuat project challenge atau membuat quilt dengan pendekatan yang berbeda baik warna, teknik pengerjaan, maupun ukuran, sehingga dihasilkan quilt yang jauh berbeda daripada standar baku.
“Dari kumpul-kumpul inilah tercetus niat untuk membuka usaha penjualan kain quilt. Karena, kain quilt sangat sulit didapat di kota terdekat. Kalau pun ada, harganya sangat mahal mengingat ini kain impor. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kain tersebut adalah dengan berbelanja langsung ke Jakarta, Bandung, atau Bali. Sebab, bila titip ke teman atau saudara, seringkali kain yang mereka belikan tidak sesuai dengan harapan.
Berlatar belakang itu, kami menjalin kerja sama dengan pemilik toko kain di tiga daerah tersebut sehingga kami bisa memasok bahan-bahan yang dibutuhkan para penggemar keterampilan ini. Selain itu, kami juga mulai mencoba menjual hasil-hasil project challenge,” katanya.

Niat awal mereka hanya ingin memperkenalkan bentuk quilt yang berbeda atau tidak standar, lebih kreatif, dan tidak mengikuti pakem-pakem yang sudah ada atau quilt ala Amerika, Australia, Jepang, atau Eropa. “Kami mencoba memberi sentuhan Indonesia dengan menggunakan warna warni tropis, batik Jawa, batik Bali, dan sebagainya. Mula-mula juga cuma seukuran selimut bayi, sarung bantal, dan lain-lain. Para pembelinya pun masih sebatas teman-teman dekat. Tapi, lumayan, karena ternyata ada yang senang dengan quilt kami,” ujarnya.
Untuk membangun usaha penjualan kain quilt yang kemudian diberi “merek” Kain (sekadar agar gampang diingat, red.), tiga serangkai ini mengeluarkan modal Rp4,5 juta. Keuntungan dari bisnis ini mereka gunakan untuk membuat kartu nama, panel display, dan label yang dipasang di produk mereka.
Sedangkan modal untuk membuat quilt, mengingat peralatannya masih impor, mereka harus mengumpulkannya sedikit demi sedikit dari sisa uang belanja. “Bahkan, untuk menyatukan kain-kain quilt, pada mulanya saya menggunakan mesin jahit pemberian orang tua. Segala sesuatunya mulai dari mendesain sampai menjahit dilakukan sendiri. Untuk hasil akhirnya, kami dibantu seorang quilter atau seseorang yang bertugas menyatukan tiga lapis bahan dengan cara dijahit tangan,” jelasnya.

Dalam perkembangannya, bisnis quilt yang dibangun pada 2004 ini menghasilkan hiasan dinding, bed cover, selimut sofa, selimut bayi dan anak-anak, serta sajadah dengan aneka bentuk, ukuran, dan desain. Di samping itu, juga penambahan dua karyawan dan 10 quilter, sehingga setiap bulan Tarti mampu menghasilkan empat bed cover dan tiga hiasan dinding aplikasi.
Produk yang ditawarkan dengan harga Rp350 ribu hingga Rp4 juta (tergantung pada motif, penggunaan kain, dan teknik pengerjaan, red.) ini, pada 2005 diikutkan dalam berbagai pameran di Jakarta untuk memperkenalkan diri, memberi alternatif bentuk quilt yang berbeda, sekaligus menjaring pembeli.
Selain itu, produk yang telah tersebar ke seluruh Indonesia dan (melalui buyer) ke mancanegara ini, juga dipasarkan dengan sistem dari mulut ke mulut. “Maklum, kami belum mempunyai outlet. Jadi, kami hanya menggunakan sebagian teras rumah kami sebagai tempat untuk menjual produk kami, sekaligus tempat untuk mengajar dan bertemu dengan pembeli,” kata wanita yang berangan-angan memiliki studio kerja dan tempat kursus quilt merangkap toko ini.

Omsetnya? “Tergantung dari banyak sedikitnya pemesanan atau pembelian dan pameran yang diikuti. Biasanya setelah pameran, banyak permintaan yang datang. Apalagi pesanan dari kalangan ekspatriat yang biasanya datang pada Bulan Juni atau Desember.
Saya memiliki 15 pembeli dan sekitar tiga pemesan yang rutin membeli atau memesan produk saya. Setiap orang minimal memesan lima produk. Jadi, setiap bulan rata-rata omset yang saya raup baru mencapai tujuh dijit, maklum di Indonesia produk semacam ini termasuk barang baru dan untuk penggunaan jangka panjang,” kilah Tarti yang sekarang single fighter menjalankan bisnis ini, karena kedua koleganya mengikuti suami mereka yang ditugaskan ke luar negeri.
“Tapi, mereka tetap membantu saya dengan memasok peralatan seperti benang, jarum, dan lain-lain yang memang masih harus diimpor,” imbuhnya. Ibarat pepatah, sehari selembar benang, lama-lama menjadi kain, demikian pula dengan usaha quilting yang ditekuni Tarti. Bukankah sesuatu yang besar atau banyak selalu berasal dari yang kecil atau sedikit?

Dapur Solo, Perjuangan Swandani Dari Sebuah Garasi

Friday, 07 September 2007

Swandani dan suamiBermodalkan keuletan Swandani berhasil membangun Dapur Solo. Restoran dengan pengunjung tak kurang 200 orang per hari itu embrionya adalah warung rujak kecil di sebuah pojok garasi.
Russanti Lubis

Sejak beberapa tahun terakhir ini, Jakarta dibanjiri berbagai rumah makan tradisional. Hal itu terjadi, karena bahan dasar makanan tradisional Indonesia itu murah dan mudah didapat, sedangkan hasil olahannya bisa dijual semahal mungkin. Lalu, dengan sedikit polesan interior dan eksterior bangunan, serta penataan yang terkesan mewah, restoran tradisional sudah dapat diubah menjadi fine dining. Di sisi lain, perlahan namun pasti, masyarakat mulai jenuh dengan makanan bule seperti fried chicken, french fries, atau burger. Lebih dari itu semua, pada umumnya rumah makan tradisional menyediakan makanan berat (baca: nasi) dan sebagian besar masyarakat Indonesia merasa belum makan, kalau belum “bertemu” nasi.

Salah satu dari sekian restoran tradisional tersebut yaitu Dapur Solo (DS). Rumah makan yang terletak di kawasan Sunter ini menyajikan aneka makanan Jawa, khususnya dari Solo. “Dalam berbisnis makanan, saya merasa harus membuat spesifikasi. Akhirnya, muncul ide untuk membuat makanan tradisional Jawa. Di sisi lain, kehadiran DS merupakan penyegar di tengah-tengah kejenuhan masyarakat akan fried chicken, sekaligus pembelajaran bagi anak-anak muda zaman sekarang yang tidak lagi mengenal makanan tradisional, terutama dari Solo, seperti urap, bothok, selat, dan sebagainya,” kata Swandani, Director Dapur Solo Group.
Namun, DS bukanlah rumah makan kemarin sore. Kemunculannya dimulai pada 1986 dari sebuah garasi yang hanya menjual rujak dan es juice. “Modalnya Rp100 ribu, sedangkan omsetnya Rp3000,- sampai Rp5.000,- per hari,” ujar Swan, sapaan akrabnya.

Dengan berjalannya waktu, perempuan yang mengaku membuka warung karena gila kerja ini, menambahi menu makanannya dengan ayam goreng Kalasan, aneka kolak, dan sebagainya sehingga garasi rumah ini berubah menjadi kedai, yang ramai dikunjungi orang-orang kantoran untuk makan siang.
Sayangnya, kedai ini berlokasi di tengah-tengah perumahan yang padat dan jalan yang sempit, sehingga tidak tampak jelas dari luar. “Menurut saya, kalau mau buka usaha ya harus di tempat untuk buka usaha, jangan di perumahan,” kata ibu satu anak ini. Berdasarkan informasi dari sang suami yang bekerja di sebuah perusahaan pengembang real estate bahwa telah dibangun rumah toko (ruko) untuk pertama kalinya di Sunter, keluarga kecil ini pun boyongan pindah ke ruko berukuran 5×19 m² yang mereka beli secara kredit tersebut, dengan terlebih dulu menjual rumah mereka, pada 1990-an. Di tempat inilah, berdiri RM (Rumah Makan) Solo, cikal bakal DS yang hanya menyediakan makanan khas Solo.

Pada 1997, terjadi krisis moneter (krismon). Banyak bisnis ambruk, termasuk developer dan rumah makan. Tapi, hal ini tidak berpengaruh kuat bagi RM Solo. Buktinya, jika restoran lain omsetnya melorot hingga 50%, omset RM Solo cuma turun 10%. “Suami saya yang menganggur, memutuskan untuk ikut membantu bisnis saya. Apalagi, dia melihat prospek cerah bisnis ini. Lantas, suami saya melemparkan ide untuk mengembangkan rumah makan ini, sekaligus membantu mereka yang kehilangan pekerjaan karena krismon,” ucap wanita yang mengaku tidak bisa masak ini.

Bergabungnya sang suami dalam bisnis ini, memunculkan banyak ide di benak Swan, sekaligus tekad untuk mengembangkannya sebesar mungkin. Pertama, menyediakan makanan tradisional Jawa (bukan cuma dari Solo), yang dapat diterima semua suku. Caranya, memodifikasi rasa sangat manis pada makanan Jawa, tanpa orang Jawa merasa kehilangan rasa asli makanan tersebut. Kedua, meningkatkan jumlah pelanggan yang mulai berkurang, dengan meng-hire seorang desainer grafis untuk melakukan perombakan besar-besaran baik interior, eksterior, logo, dus, maupun branding name. Hasilnya? “Luar biasa! Konsep bangunan ternyata merupakan daya tarik pertama, sebelum konsumen mencicipi makanannya,” ujar sarjana perhotelan ini.

Langkah ini diikuti perubahan nama RM Solo menjadi DS sekitar empat tahun lalu, karena suatu saat ingin mewaralabakan bisnis ini. DS yang dibangun dengan modal Rp200 juta ini, terbagi menjadi dua lantai di mana lantai pertama digunakan sebagai rumah makan, sedangkan lantai kedua untuk ruang pertemuan yang mampu menampung 50 orang. Langkah berikutnya dilakukan ketika DS yang memiliki 20 jenis makanan dan minuman gagal menaikkan jumlah pelanggan di malam hari, sehingga rumah makan berkonsep ruangan minimalis moderen ini hanya dibuka dari pagi hingga sore. “Mungkin mereka berpikir bahwa makanan tradisional, khususnya yang dari Jawa, cuma cocok untuk makan siang. Kebetulan, hampir semua pelanggan saya adalah orang kantoran dan keluarga yang dengan uang Rp20 ribu dijamin sudah kenyang,” katanya.